Lelaki tanpa Matahari (12)

Setelah beberapa kali aku menekan redial, akhirnya ada juga yang mengangkat telepon itu. Dari ujung telepon seluler terdengar suara serak Amelia, seperti usai menguras tangis. “Maafkan adek, bang. Tadi teleponnya memang dipinjam Kak Wati.”

“Gak ada yang perlu dimaafkan, kok. Lagian adek gak salah, dan abang sangat memaklumi kondisi adek sekarang.”

“Bang, besok pagi aja kita ketemu di Matang. Udah ya, adek takut, ntar Kak Wati kebangun ni.”

Lalu telepon ditutup. Aku hanya menarik nafas yang terasa berat. Kurasakan malam begitu lama berlalu. Sebentar-sebentar aku melongok ke ufuk sebelah barat. Aku berharap, matahari segera memuncratkan cahaya merah jingga. Sehingga aku bisa bertemu matahariku di tempat yang dijanjikannya.

Pukul 06.39 WIB aku sudah berada di Warung Sate Matang. Kopi panas terhidang cepat di hadapanku. Uapnya mengepul menghantam hidungku. Panas, tapi harum. Kuseruput kopi panas itu perlahan. Hingga kemudian mataku terkuak lebar, meski separoh malam tadi aku tak tertidur.

Tidak biasanya warung ini sepi, pikirku. Selain beberapa pelayan, hanya ada aku dan seorang laki-laki setengah baya yang masih tekun menyantap sate yang terhidang di mejanya.
Kuteguk sisa kopi di gelas yang sudah terasa dingin. Kemudian sebuah bus antar provinsi berhenti di depan warung. Seketika Warung Sate Matang itu berisik oleh orang-orang yang turun dari bus. Sebagian mereka saling berebut ke kamar mandi. Sedangkan sebagian lainnya sibuk memesan sate dan minuman yang diinginkan.

Kulihat jam di dinding warung. Setengah sembilan. Sudah dua jam lebih aku di sini. Dia belum datang juga. Ke mana matahariku? Apakah Amelia dilarang ke luar rumah, sehingga dia tidak menjumpaiku di tempat yang dijanjikannya?

Kucoba buang waktu dengan mendengarkan lirik-lirik kepasrahan Betharia Sonata dari VCD yang diputar di bus yang berhenti tadi. Cinta memang pahit, bathinku.

Namun, hingga seluruh penumpang naik kembali ke bus dan bus itu melanjutkan perjalanannya, Amelia belum juga muncul. Aku memesan segelas kopi lagi. Sementara pandanganku terus memperhatikan setiap sepeda motor yang berhenti di depan warung itu.

Begitu menyeruput kopi panas dari gelas yang kedua, Amelia muncul di sela-sela pelayan warung yang berlalu-lalang. Senyumku mengembang. Dia langsung menghampiriku dan duduk di kursi di sampingku.

“Udah lama ya, bang?” tanyanya dengan suara yang masih serak.

Aku hanya mengangguk sambil menatapnya tak berkedip. Mata Amelia kulihat begitu merah. Kurasa, selain kurang tidur, dia juga banyak menguras air mata.

“Maaf ya, bang. Adek ngantar ponakan dulu ke sekolah, baru nyuri waktu ke sini.”

“Ya udah, gak pa-pa kok. Sekarang adek mau pesan apa?” tanyaku sambil melirik pelayan warung.

“Terserah abang aja.”

Aku memesan dua porsi sate berikut minuman kesukaan matahariku.

“Bang, adek diminta cepat-cepat balik ke Banda. Abang kapan pindah kantor ke sana?” tuturnya kemudian.

“Sebagian peralatan kantor sih ntar malam diangkut ke Banda. Tapi, abang berangkat bareng adek aja. Kapan pastinya adek balik ke Banda?”

“Besok pagi.”

“Ya, udah. Adek naik mini bus aja ampe Peudada. Abang nunggu di situ, baru kita pake motor (sepeda motor) ke Banda. Gimana?”
Amelia seperti merenung sebentar. Kemudian dia menganggukkan kepalanya, “Oke deh, adek juga ingin bareng abang ke sana, kok.”

Besoknya, ketika matahari pagi sudah menampakkan wajahnya secara utuh, sepeda motorku melaju kencang di antara lalu-lalang kendaraan anak sekolah dan para pekerja kantoran. Di ujung jembatan Peudada, 12 kilometer di barat Kota Bireuen, aku berhenti.

Kuparkirkan sepeda motor. Lalu duduk di tepi sungai sambil menatap beberapa kapal nelayan yang merapat di dermaga Pusat Pendaratan Ikan Peudada. Namun, pikiranku bukan ke situ. Putaran fragmen hidupku terulang dan kembali membias di mataku.

Akh, aku memang bukan lelaki suci. Aku bajingan. “Terkutuklah lah kau, Ari,” bathinku memaki diriku sendiri. Lalu, puluhan kata umpatan pun terhujam di diriku.

Memang, jauh sebelum mengenal Amelia. Selain Lisa, cinta pertamaku, dan Wati, teman adiku yang juga kakaknya Amelia, aku pernah tinggal serumah dengan Noni, perempuan panggilan di Jakarta. Lepas dari Noni yang jalang, aku ketemu Santi, penyanyi pup, juga kuajak tinggal serumah. Dari mereka, aku begitu banyak diwarisi dosa.

Lalu, aku bercinta dengan Eva, juniorku di sebuah penerbitan buku. Gadis lugu dan mengaku masih perawan itu selama lima bulan luluh lantak dalam cengkeramanku. Syukur, dia tidak sampai menyerahkan sesuatu yang berharga yang dimilikinya. Aku pun selalu ingin menjaga kesucian gadis Minang itu.

Aku juga berkencan dengan Emy, janda beranak satu yang juga ibu kostku. Setahun kami hidup bersama. Bukan bersama, tapi aku dapat kost gratis di rumahnya.

Sungguh, demi Tuhan, setelah petualanganku dengan Noni, Santi, Eva, dan belasan perempuan lain, serta terakhir dengan Emy, aku bertobat. Tsunami yang memporakporandakan Aceh menyadarkan aku dari kekeliruan di masa muda, suatu kehidupan liar, buas, dan paratisme.

Setelah mengenal Amelia, aku berjanji pada hati kecilku sampai meneteskan air mata, tidak akan mengotori hidupku lagi dengan kebejatan apa pun. Aku inginkan hidup bersih di tanah kelahiranku, suci lahir-batin di tengah orang-orang yang aku cintai.

Tepukan seseorang di bahuku menyadarkan aku dari lamunan tentang petualangan cintaku di masa muda. Aku tersentak. Kudapati Amelia sudah berdiri di sampingku. Tas punggung yang disandangnya penuh sesak. Kuraih tas itu dan kugantungkan di bahuku. (Bersambung)

Tinggalkan komentar